DASWATI.ID – Korban eksekusi lahan laporkan PT KAI ke Polresta Bandarlampung atas pengosongan paksa rumah yang telah mereka huni sejak 1958.
Diketahui, PT KAI Divisi Regional IV Tanjungkarang melakukan penertiban aset seluas 1.460 m² di Jalan Rambutan Ujung, Kelurahan Pasir Gintung, Kecamatan Tanjungkarang, Kota Bandarlampung, pada Selasa (28/11/2023).
Direktur YLBHI-LBH Bandarlampung, Sumaindra Jarwadi SH, yang mengadvokasi pihak korban menuturkan eksekusi paksa lahan itu telah dilaporkan ke Polresta Bandarlampung dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/1744/XI/2023/ SPKT/POLRESTA BANDAR LAMPUNG/POLDA LAMPUNG.
YLBHI-LBH Bandarlampung melaporkan dugaan pengrusakan yang dilakukan oleh PT KAI saat penertiban berlangsung.
“Perabot rumah tangga diangkut secara paksa oleh personel PT KAI dalam memindahkan. Tidak hanya itu, pintu rumah hingga jendela rumah dicongkel dan dilepaskan dari dinding. Terlebih listrik pun dicabut oleh PT KAI,” ujar Indra di Bandarlampung.
Korban eksekusi lahan laporkan PT KAI ke Polresta Bandarlampung. Terdapat dua rumah dan 12 ruko yang menjadi sasaran penertiban PT KAI.
“PT KAI menganggap lahan tersebut merupakan lahan miliknya,” kata dia.
Selain diduga melakukan pengrusakan, tambah Indra, keluarga korban juga mendapat tindakan yang tidak menyenangkan.
“Diseret, didorong, hingga digotong paksa sehingga beberapa orang mengalami luka di bagian lengan dan kaki yang diinjak menggunakan sepatu,” ujar Indra.
Dia menyampaikan upaya penertiban aset PT KAI tersebut mendapatkan pengawalan dari 100 personel gabungan, dari pihak kepolisian dan satuan pengamanan.
LBH Bandarlampung nilai eksekusi lahan PT KAI tidak berdasar.
Indra mengatakan keluarga korban pengosongan paksa merupakan ahli waris kesebelas yang telah menguasai tanah dan bangunan sejak puluhan tahun.
“Kakek ahli waris tersebut memiliki lahan tersebut berdasarkan SHM (Sertifikat Hak Milik) tahun 1968 seluas 1.423 m²,” kata dia.
Pada saat memperoleh lahan, tambah Indra, hingga saat ini keluarga tersebut tidak pernah mengalihkan lahan bahkan menjual lahan tersebut kepada pihak manapun.
“Bahkan bangunan yang berdiri merupakan bangunan yang dibangun oleh keluarga,” ujar dia.
Ia mengatakan PT KAI pada tahun 2020 telah mengajukan gugatan pembatalan SHM atas nama kakek ahli waris tersebut ke PTUN Bandarlampung kepada BPN Kota Bandarlampung dengan dasar groundkaart Nomor 10 Tahun 1913 dan SHGB No. 187 Tahun 2016.
Namun, kata Indra, putusan pengadilan Nomor Perkara 19/G/2020PTUN.BL menyatakan SHM tersebut batal dan merugikan ahli waris sebagai pemilik objek.
“Berdasarkan hal tersebut PT KAI memberikan Surat Peringatan 1,2,3 yang pada pokoknya meminta untuk melakukan pembongkaran dan pengosongan secara mandiri dan/atau melakukan pembongkaran dan pengosongan paksa,” jelas dia.
Terkait dengan putusan tersebut, tutur Indra, hanya dapat diajukan eksekusi terhadap objek yang disengketakan berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang dalam hal ini adalah eksekusi terhadap pembatalan SHM.
“Itu tidak dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya pengosongan paksa atau penertiban seperti yang dinyatakan di dalam surat No. KA.203/VI/1/DV.4-2023 Surat Peringatan III tertanggal 22 November 2023,” kata dia.
Putusan PTUN tersebut telah berkekuatan hukum tetap yang bersifat condemnatoir yaitu memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada badan atau pejabat yang berwenang, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU Nomor 5 Tahun 1986.
Indra menilai mestinya dalam gugatan Nomor Perkara 19/G/2020PTUN.BL memasukkan ahli waris sebagai pihak tergugat karena ahli waris pemilik sah yang menguasai objek a quo sejak tahun 1958.
“Hingga diajukannya gugatan pada PTUN Bandarlampung pada tahun 2020 tidak pernah ada pihak manapun yang mengajukan keberatan terhadap kepemilikan dari objek a quo,” ujar dia.
Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Sementara, dasar dari diajukannya gugatan PT KAI Divre IV Tanjungkarang menggunakan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 187 Tahun 2016 tertanggal 13 Juni 2016 sesuai Pasal 35 UU Pokok Agraria.
Namun, jelas Indra, dalam ketentuan Pasal 1 Keppres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok- Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat diberikan jangka waktu selama 20 tahun sejak berlakunya UU Pokok Agraria Tahun 1960.
“Artinya selama 20 tahun sejak berlakunya UU Pokok Agraria, pemerintah, BUMN atau instansi yang akan menguasai Tanah Negara wajib mendaftarkannya ke Kementerian ATR/BPN Agraria dan mendaftarkannya ke Kementerian Keuangan RI agar dapat didaftarkan menjadi Aset Negara,” kata dia.
“Dan PT KAI juga baru menerbitkan SHGB tahun 2016, yang faktanya di objek tersebut terdapat kepemilikan secara yuridis yaitu Sertifikat Hak Milik sejak 1968 atas nama Ahmad Arsan Nomor: 3/Sd yaitu kakek dari 11 ahli waris,” pungkas Indra.