DASWATI.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi mendesak pemerintah untuk mencabut IUP (Izin Usaha Pertambangan) pasir laut pasca putusan Mahkamah Agung (MA).
MA telah mengeluarkan Putusan Nomor 5/PHUM/2025 yang membatalkan Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Putusan ini disambut baik oleh Walhi Lampung, yang menyebutnya sebagai kemajuan penting dalam penyelamatan dan perlindungan lingkungan hidup, khususnya ekosistem laut serta hak masyarakat pesisir dan adat.
Pasal-pasal yang dibatalkan oleh MA tersebut sebelumnya mengatur bahwa hasil sedimentasi laut berupa pasir laut dapat diambil, diangkut, dijual, dan diekspor melalui mekanisme pemberian izin usaha pertambangan.
Ketentuan ini dinilai secara nyata membuka kembali praktik eksploitasi dan ekspor pasir laut yang sebelumnya telah dilarang melalui berbagai kebijakan seperti Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 02/M-DAG/PER/1/2007.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, menegaskan bahwa keputusan MA ini menjadi penegasan hukum bahwa praktik ekspor pasir laut adalah bentuk pelanggaran terhadap asas keberlanjutan dan keadilan ekologis.
Dalam keterangannya, Jumat (27/6/2025), Walhi Lampung menilai PP 26/2023 tidak berpihak pada kepentingan ekologis dan sosial, serta mengabaikan risiko kerusakan ekosistem pesisir dan laut yang menjadi penyangga kehidupan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.
Lebih lanjut, putusan MA menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menekankan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Baca Juga: Warga Sukorahayu Tolak Tambang Pasir Kuarsa PT Nanda Jaya Silika
Meskipun Putusan MA Nomor 5/PHUM/2025 tidak membatalkan PP 26 Tahun 2023 secara keseluruhan, Irfan menilai hal ini telah menandakan bahwa peraturan tersebut memang bermasalah dan bertentangan.
Putusan ini juga dipandang sebagai langkah untuk mengurangi eksploitasi pasir laut di Indonesia ke depannya, terutama di Provinsi Lampung.
Walhi menyoroti klaim pemerintah terkait sedimentasi yang akan dikeruk adalah material “sampah” di area Sedimentary Wedge, padahal kenyataannya praktik penambangan justru terjadi di wilayah Abyssal Plain yang tidak memiliki urgensi untuk dikeruk karena tidak mengganggu ekosistem.
“Sebagai provinsi pesisir dengan garis pantai yang panjang, Lampung memiliki ekosistem laut yang sangat rentan terhadap eksploitasi besar-besaran, termasuk melalui aktivitas pertambangan pasir laut,” ujar Irfan.
Walhi Lampung mengutuk keras upaya pemerintah yang mencoba membangkitkan kembali praktik eksploitasi dan ekspor pasir laut yang telah terbukti menyebabkan kerusakan ekologi masif, abrasi pesisir, kehancuran habitat laut, dan pemiskinan nelayan tradisional.
Oleh karena itu, Walhi Lampung mendesak pemerintah untuk:
1. Segera mentaati putusan Mahkamah Agung untuk mencabut Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) dalam PP Nomor 26 Tahun 2023.
2. Segera mencabut seluruh izin pengambilan pasir laut yang telah terbit pasca PP 26/2023.
3. Mengembalikan prinsip pengelolaan laut berbasis kedaulatan rakyat dan keadilan ekologis.
4. Melibatkan masyarakat pesisir, nelayan, dan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan pengelolaan wilayah laut.
Baca Juga: MA Perintahkan Cabut Pergub Lampung yang Izinkan Panen Tebu Dibakar