Oleh: Sri Wahyu Hidayah–Ketua Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik PC IMM Kota Bandar Lampung
DASWATI.ID –Di tengah sorotan publik terhadap banyaknya pejabat dan mantan pejabat yang tersandung masalah hukum, sebuah kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung justru menimbulkan pertanyaan besar.
Alokasi dana hibah sebesar Rp60 miliar dalam APBD 2025 untuk pembangunan Gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung adalah sebuah langkah yang “agak lain dari yang lain” dan patut dikaji secara mendalam.
Kebijakan ini tidak hanya janggal karena muncul di saat pemerintah pusat sedang gencar melakukan efisiensi anggaran, tetapi juga membuka potensi masalah yang lebih serius terkait independensi penegakan hukum dan prioritas anggaran daerah.
Persoalan Mendasar dari Sisi Hukum dan Kewenangan
Secara yuridis, landasan kebijakan ini sangat problematis. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI secara tegas menyatakan bahwa anggaran Kejaksaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Aturan ini menegaskan bahwa Kejaksaan adalah instansi vertikal yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.
Meskipun Pemerintah Kota Bandar Lampung mungkin berdalih pada Pasal 298 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang hibah, norma tersebut bersifat multitafsir.
Menginterpretasikannya sebagai izin untuk menghibahkan dana APBD kepada lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, atau Pengadilan adalah sebuah kekeliruan fatal.
Hal ini karena hibah semacam itu berpotensi besar menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang dapat mencederai independensi lembaga yudikatif.
Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa beban yang seharusnya ditanggung APBN justru dialihkan ke APBD Kota Bandar Lampung?
Baca Juga: Hibah Lancar, Hukum Jangan Tumpul ke Atas
Ironi Prioritas Anggaran di Tengah Problematika Kota
Jika dilihat dari sudut pandang kebijakan publik, alokasi dana fantastis ini menjadi sebuah ironi. APBD, pada hakikatnya, adalah amanah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Namun, Pemerintah Kota Bandar Lampung tampaknya mengabaikan prinsip ini. Di saat kondisi keuangan daerah disebut sedang “berantakan”, dana Rp60 miliar lebih dipilih untuk membangun gedung megah ketimbang menyelesaikan masalah-masalah krusial yang dirasakan langsung oleh warga, seperti jalanan yang masih banyak berlubang dan persoalan sampah yang tak kunjung usai.
Baca Juga: IMM Berdoa untuk Korban Banjir di Depan Kantor Pemkot Bandar Lampung
Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian melemah, pemerintah kota seharusnya lebih bijak dalam mengatur prioritas anggaran.
Penggunaan APBD untuk kepentingan masyarakat umum harus diutamakan, bukan dialihkan untuk membiayai instansi yang mekanisme pendanaannya telah diatur secara jelas oleh undang-undang.
Ancaman terhadap Independensi dan Potensi “Barter Hukum”
Implikasi paling berbahaya dari kebijakan hibah ini adalah tergerusnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Ketika gedung Kejati dibiayai oleh APBD kota, independensi Kejaksaan menjadi sangat diragukan dan sangat rawan terjadi “kong kalikong” di dalamnya.
Bagaimana mungkin publik bisa percaya bahwa Kejaksaan akan objektif menangani kasus-kasus yang melibatkan pejabat di lingkungan pemerintah kota yang telah “berbaik hati” membiayai pembangunan gedungnya?
Oleh karena itu, Jaksa Agung harus turun tangan dan memberikan jaminan bahwa hibah ini tidak melanggar aturan hukum yang berlaku.
Jika tidak ada jaminan tersebut, publik berhak menilai bahwa kebijakan ini adalah sebuah dugaan “barter hukum”, di mana anggaran ditukar dengan potensi keamanan hukum di masa depan.
Untuk menjaga integritas penegakan hukum di Bandar Lampung, sebuah langkah konkret perlu diambil.
Selama proses pembangunan ini berlangsung, seluruh penanganan kasus tindak pidana korupsi yang menjadi wewenang Kejaksaan Negeri Bandar Lampung semestinya segera dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Langkah ini memiliki dasar hukum yang kuat, sebagaimana diatur dalam UU KPK, yang menyatakan bahwa KPK berwenang mengambil alih perkara jika aparat penegak hukum diduga tidak independen atau terdapat konflik kepentingan dalam penanganannya.
Pada akhirnya, hibah ini, baik dilihat sebagai upaya memanfaatkan celah aturan maupun sebagai indikasi adanya barter kepentingan, sama-sama bermuara pada satu konsekuensi: rusaknya tatanan penegakan hukum dan pengkhianatan terhadap amanah publik. (*)
Baca Juga: APBD Bandar Lampung untuk Siapa?