DASWATI.ID – Praktik pengrusakan hutan di Provinsi Lampung kini menggunakan metode yang semakin sulit terdeteksi oleh aparat.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Hutan Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Lampung, Zulhaidir, mengungkapkan adanya modus baru di mana pelaku mematikan pohon menggunakan racun yang dibeli secara daring (e-commerce) dengan harga murah.
“Pelaku cukup menyiramkan racun tersebut ke batang pohon, lalu meninggalkannya begitu saja. Setelah menunggu selama 2 hingga 3 bulan hingga pohon mati dengan sendirinya, mereka akan kembali untuk mengambil kayu tersebut,” ungkap Zulhaidir.
Hal itu disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Keadilan Ekologis di Bawah Ancaman” yang diselenggarakan oleh Walhi Lampung di Bandar Lampung pada Kamis (18/12/2025) sore.
Modus ini sangat licik karena tidak memerlukan tindakan penebangan langsung saat pohon masih segar, sehingga sering kali baru terungkap jika pelaku tertangkap tangan di lokasi.
“Modus seperti ini cukup sulit dideteksi karena tidak dilakukan secara langsung. Biasanya terungkap jika pelaku tertangkap tangan,” kata Zulhaidir.
Krisis Pengawasan dan Tantangan Personel
Sulitnya mendeteksi modus “senyap” ini diperparah oleh ketimpangan jumlah personel pengawas.
Saat ini, tutur Zulhaidir, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung hanya diperkuat oleh 124 personel Polisi Kehutanan (Polhut).
“Jumlah tersebut tentu belum sebanding dengan luas kawasan hutan yang harus diawasi,” ujar dia.
Jumlah ini dianggap sangat tidak sebanding untuk menjaga total kawasan hutan Lampung yang mencapai 1.004.735 hektare atau 28,45% dari luas wilayah provinsi, sesuai SK. Menhutbun No. 256/Kpts-II/2000.
Meskipun demikian, tutupan hutan menunjukkan kondisi bervariasi; Hutan Konservasi memiliki tutupan lahan sebesar 83,75% (386.958 Ha), sementara Hutan Lindung hanya memiliki 59,93% tutupan (190.356 Ha).
Data Kerusakan dan Penegakan Hukum
Meskipun terdapat modus baru, data menunjukkan tren penurunan kasus illegal logging konvensional.
Dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, tercatat ada 28 kasus yang berhasil diungkap, dengan rincian yang terus menurun hingga hanya menyisakan satu kasus pada tahun 2024.
“Kami juga melakukan penindakan ilegal logging bersama kepolisian melalui Gakkum (Penegakan Hukum). Pada tahun 2019 sebanyak empat kasus, 2020 (17 kasus), 2021 (3 kasus), 2022 (4 kasus), 2023 (2 kasus), dan 2024 (1 kasus),” kata Zulhaidir.
“Tapi memang kalau kita mau menghukum masyarakat setempat agak repot dan bingung, nanti kami bisa ‘dikriminalisasi’, tambah dia.
Namun, penurunan kasus pembalakan liar ini disinyalir terjadi karena sumber daya alam yang bernilai ekonomis di dalam kawasan hutan mulai berkurang.
Selain masalah pembalakan, lanjut Zulhaidir, Dishut Lampung juga menghadapi tantangan tata kelola lahan di antaranya:
- Pemanfaatan hutan masih didominasi korporasi besar seperti PT Inhutani V (56.547 Ha), PT Silva Inhutani Lampung (42.762 Ha), dan PT Budi Lampung Sejahtera (9.600 Ha).
- Sekitar 154.136 hektare lahan yang dikelola masyarakat di Hutan Lindung juga terdeteksi belum memiliki izin resmi.
“Dinas Kehutanan sekarang ini sedang merapikan kondisi praktik-praktik ilegal yang ada di dalam kawasan. Masih ada sekitar 150 ribu hektare lebih yang belum jelas siapa penggarapnya,” ujar dia.
Baca Juga: Pengawasan Hutan Lampung: Antara Pusat dan Korporasi
Mengenai keterlanjuran masyarakat yang tidak terdeteksi masuk kawasan hutan, ini Dinas Kehutanan berupaya memfasilitasi agar lebih mudah mengawasi.
“Pemerintah saat ini berupaya merapikan praktik ilegal tersebut dengan memfasilitasi masyarakat melalui Program Perhutanan Sosial agar pengawasan menjadi lebih mudah dan masyarakat tidak terjerat kasus kriminal,” kata dia.
Namun, Zulhaidir menegaskan bahwa jika ditemukan perambahan hutan yang disengaja, hukum tetap akan ditegakkan dengan tegas melalui kerja sama dengan Polri.
Baca Juga: Mengapa Zona Inti Way Kambas Dijual untuk Karbon?

