DASWATI.ID – Pembagian bantuan sosial menjelang pemilihan yang sering diplesetkan dengan istilah sedekah politik bagaikan penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi di Pilkada Lampung.
Praktik lancung itu dipicu rendahnya pendidikan politik di masyarakat, kekosongan hukum, dan kurangnya ketegasan penegakan hukum.
“Pendidikan politik di Lampung saya lihat masih belum memadai atau sangat minim. Kalaupun ada, lebih kepada seremonial,” ujar pengamat politik Darmawan Purba di Bandarlampung, Rabu (27/3/2024).
Menurut akademisi Universitas Lampung ini, pendidikan politik merupakan proses membangun kesadaran masyarakat sebagai pemilih yang berdaulat dan bertanggung jawab terhadap daerahnya.
“Pendidikan politik membutuhkan kesungguhan yang luar biasa, termasuk dari pemerintah daerah. Kedaulatan rakyat menjadi legitimasi bagi pemerintahan yang akan terbentuk nantinya,” kata dia.
Kondisi pragmatis ini dipengaruhi faktor sosial dan ekonomi yang notabene tanggung jawab pemerintah.
“Dua hal ini adalah urusan pemerintah untuk tumpuan penyelenggaraan demokrasi yang substansial. Makanya banyak kritik soal pemberian bantuan sosial. Itu dinilai merawat kebodohan dan kemiskinan,” jelas Darmawan.
Demokrasi mengalami pergeseran makna dengan konfigurasi demografis masyarakat.
Kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah dan ekonomi lemah menjadi pemilih yang rentan akan politik uang.
“Kalau kita masuk pada wilayah yang fundamental, para elit lah yang memicu perkara ini. Sehingga percakapan ide atau gagasan hampir-hampir tidak menjadi perbincangan. Jadi elit jangan lagi menyalahkan masyarakat,” ujar dia.
Karakter pemilihan yang substansial atau prosedural terlihat dari proses rivalitas yang bertumpu pada persaingan gagasan.
“Siapa yang gagasannya lebih mutakhir mengatasi kemiskinan, krisis pangan, lapangan pekerjaan, termasuk pelayanan dasar,” kata Darmawan.
Sedekah politik atau politik uang berkedok bagi-bagi sembako juga lahir dari kekosongan hukum, dan kurangnya ketegasan penegakan hukum.
“Misal, bagi-bagi sembako tanpa ada ajakan memilih atau kerabat calon bagi-bagi sembako, itu tidak masuk kategori politik uang. Batasan-batasan ini sangat lemah sehingga praktik politik uang itu sering dijadikan plesetan sebagai sedekah politik,” ujar dia.
Esensi demokrasi bersaing membangun negeri masih sulit diwujudkan ketika dihadapkan pada karakteristik pemilih dengan kondisi objektif masyarakat Lampung saat ini.
Upaya kolektif berbagai pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, hingga masyarakat, diperlukan untuk membersihkan penyakit kronis ini sesuai peran masing-masing.
“Menurut saya, perguruan tinggi memiliki peluang besar melalui kuliah di luar ruangan lewat program KKN, magang, sebagai pengabdian kepada masyarakat untuk mem-backup proses pendidikan politik,” pungkas Darmawan.
Baca Juga: Korupsi Pemilu Merusak Demokrasi