DASWATI.ID – Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung, Thomas Amirico, merespons cepat keluhan dan protes dari wali murid terkait perubahan kriteria seleksi dalam Sistem Penerimaan Murid Baru atau SPMB jalur Domisili untuk Tahun Ajaran 2025/2026.
Polemik utama berpusat pada kebijakan baru yang memprioritaskan nilai rapor akademik dibandingkan dengan faktor jarak rumah, yang sebelumnya menjadi pertimbangan utama dalam sistem zonasi.
Kasus spesifik di SMAN 2 Bandar Lampung menjadi sorotan, dimana seorang calon siswa yang berdomisili hanya 50 meter dari sekolah tidak lulus, sementara peserta lain dengan jarak hingga 2 kilometer justru diterima, memicu rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan orangtua.
“Kami paham bahwa perubahan kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk memperbaiki sistem, secara tidak sengaja telah menciptakan dampak psikologis dan strategis yang signifikan bagi orangtua,” ujar Thomas di Bandar Lampung, Minggu (22/6/2025).
Pemahaman umum sebelumnya mengenai sistem Zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) adalah bahwa kedekatan geografis menjadi prioritas utama.
“Pemahaman ini mendorong banyak orangtua untuk membuat keputusan strategis, termasuk investasi finansial dalam perumahan atau relokasi, dengan keyakinan bahwa kedekatan akan menjamin penerimaan sekolah,” ungkap Thomas.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah mengubah sistem PPDB menjadi SPMB melalui Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025.
Prioritas Seleksi Jalur Domisili SMA
Dalam SPMB 2025 untuk jenjang SMA jalur Domisili, prioritas utama seleksi adalah nilai akademik.
Faktor domisili terdekat baru dipertimbangkan sebagai penentu jika terdapat kesamaan nilai akademik, disusul usia calon murid yang lebih tua, dan terakhir waktu pendaftaran.
Nilai akademik yang digunakan adalah hasil nilai rapor SMP/MTs/Sederajat semester 1-5, ditambah dengan Indeks sekolah, dengan proporsi penilaian 60 persen nilai rapor dan 40 persen Indeks sekolah.
Kebijakan ini hanya berlaku untuk jenjang SMA. Untuk SMK, aturan lama yang memprioritaskan jarak dengan kuota 15 persen tetap berlaku.
Latar Belakang Perubahan
Perubahan kebijakan ini dilatarbelakangi tujuan untuk mengatasi berbagai isu pada sistem zonasi sebelumnya, terutama kecurangan data domisili yang sering terjadi.
Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong pemerataan akses pendidikan yang lebih berkeadilan, memberikan peluang bagi siswa dengan nilai akademik yang baik meskipun jarak rumahnya relatif jauh, untuk dapat terakomodir melalui jalur domisili sebaran yang memiliki kuota 30 persen.
Sistem Zonasi sebelumnya dianggap menciptakan “kasta” atau “sekolah favorit” berdasarkan nilai Ujian Nasional/rapor, yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan Pancasila.
Thomas Amirico mengakui bahwa perubahan ini menciptakan kebingungan, kekecewaan, dan rasa ketidakadilan bagi orangtua yang merasa dirugikan setelah sebelumnya mungkin melakukan investasi finansial atau relokasi dengan keyakinan bahwa kedekatan geografis akan menjamin penerimaan sekolah.
Pihaknya menegaskan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi Lampung berada dalam posisi sebagai pelaksana aturan yang sudah ditetapkan oleh Kemendikdasmen.
“Kami berada dalam posisi sebagai pelaksana, hanya menjalankan peraturan atau aturan yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Thomas, Disdikbud Provinsi Lampung saat ini tidak dapat memberikan solusi mandiri terhadap keluhan yang ada, karena kewenangan penetapan kebijakan berada di tingkat pusat.
“Kami masih menunggu petunjuk teknis dan pelaksanaan sistem baru tersebut dari pemerintah pusat untuk implementasi lebih lanjut,” ujar dia.
Thomas Amirico berencana untuk melaporkan langsung keluhan-keluhan tersebut kepada Kemendikdasmen dengan harapan akan mendorong evaluasi menyeluruh atau solusi konkret dari pusat.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Lampung Nur Rakhman Yusuf mengakui pihaknya sempat mendengar, walau hanya sebatas informasi lisan, bahwa sekolah cenderung memberikan nilai tinggi secara “jor-joran” secara keseluruhan, bukan per individu.
“Pemberian nilai tinggi ini secara keseluruhan, bukan by person, diduga untuk meningkatkan grade sekolah dan memudahkan siswa untuk diterima di sekolah lanjutan,” jelas dia.
Namun, hingga kini, Ombudsman belum menemukan atau mendapatkan laporan masyarakat terkait dugaan gratifikasi dalam pemberian nilai rapor siswa.
Baca Juga: Ombudsman: Evaluasi Mutu Pendidikan Lampung