DASWATI.ID – Wali Kota Bandar Lampung dikritik abai tangani banjir oleh YLBHI LBH Bandar Lampung.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung melalui Kadiv Advokasi, Prabowo Pamungkas (Bowo), mengkritik keras kebijakan Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, yang dinilai tidak serius menangani persoalan banjir.
“Alih-alih fokus mengatasi banjir yang kerap melanda kota tersebut, Eva justru berencana membangun kembali fly over dan kereta gantung,” ujar dia dalam keterangannya, Minggu (23/2/2025).
Baca Juga: Walhi Pertanyakan Komitmen Eva Dwiana Tangani Banjir
Kritik ini muncul menyusul banjir besar yang melanda Bandar Lampung dua hari pasca pelantikan kepala daerah terpilih.
Banjir tersebut menyebabkan 23 titik di kota terendam, lebih dari 2.000 rumah terdampak, dan menewaskan 3 orang.
“Kejadian ini menunjukkan ketidaksiapan dan ketidakseriusan pemerintah kota dalam menangani banjir yang terjadi hampir setiap musim hujan,” kata Bowo.
Anggaran Tidak Seimbang, Proyek Mercusuar Diutamakan
Dalam keterangannya, Bowo menyoroti ketimpangan anggaran yang dialokasikan pemerintah kota.
“Normalisasi sungai pasca banjir Januari lalu hanya mendapat anggaran Rp10 miliar, sementara pembangunan JPO Siger Milenial yang kebermanfaatannya dipertanyakan menelan biaya lebih dari Rp20 miliar,” ujar dia.
Selain itu, rencana pembangunan kereta gantung dengan rute yang dimulai dari rumah Wali Kota dinilai tidak relevan dengan konteks persoalan banjir yang mendesak.
Baca Juga: JPO Siger Milenial: Jembatan Penyeberangan Orang Paling Estetik di Indonesia
Proyek lain yang juga menuai kritik adalah pembangunan Chinatown dengan anggaran mencapai Rp25 miliar hingga 2026.
“Proyek-proyek tersebut lebih bersifat simbolis dan tidak menjawab kebutuhan mendesak warga, terutama dalam penanganan banjir,” jelas Bowo.
Baca Juga: Chinatown di Telukbetung Dinilai Hilangkan Kearifan Lokal
RTH Menyusut, Banjir Bandar Lampung Semakin Parah
Wali Kota Bandar Lampung dikritik abai tangani banjir. LBH juga menyoroti minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota tersebut.
Padahal, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan setiap kota harus memiliki RTH minimal 30% dari total luas wilayah.
Namun, RTH di Bandar Lampung terus menyusut, digantikan oleh gedung-gedung yang mengubah kota ini menjadi “kota beton”.
Penyusutan RTH tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga memperparah masalah lingkungan, termasuk banjir.
“Minimnya RTH membuat kota seperti kehilangan paru-paru, haus akan oksigen segar, dan rentan terhadap bencana alam,” tegas Bowo.
Baca Juga: Pentingnya Penataan Ruang untuk Mitigasi Banjir di Bandar Lampung
Desakan untuk Serius Tangani Banjir
LBH Bandar Lampung mendesak Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana untuk menghentikan proyek-proyek mercusuar yang tidak bermanfaat bagi rakyat dan fokus pada penanganan banjir melalui pendekatan akademis.
Mereka juga meminta pemerintah memulihkan dampak yang diderita korban banjir.
“Sebagai langkah awal, LBH Bandar Lampung membuka posko pengaduan bagi masyarakat terdampak banjir,” kata Bowo.
Posko ini diharapkan menjadi ruang advokasi kebijakan yang dapat mendorong pemerintah kota untuk lebih serius menangani persoalan banjir dan lingkungan.
Banjir Kian Parah, Komitmen Pemerintah Dipertanyakan
Dalam dua tahun terakhir, intensitas banjir di Bandar Lampung meningkat signifikan.
Titik banjir semakin meluas, korban jiwa bertambah, dan dampaknya semakin parah.
“Kebijakan pemerintah kota tidak berbasis kebutuhan, melainkan lebih pada ambisi pribadi kepala daerah,” sesal Bowo.
LBH Bandar Lampung menegaskan, pemerintah harus memprioritaskan penanganan banjir dan masalah lingkungan lainnya, bukan malah menghabiskan anggaran besar untuk proyek-proyek yang tidak mendesak.
Baca Juga: Kemensos Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir di Lampung