DASWATI.ID – Masyarakat dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, yakni Kampung Bumi Aji, Negara Aji Baru, dan Negara Aji Tua, kembali mengambil langkah tegas dengan mulai bertani di atas lahan yang mereka klaim sebagai wilayah garapan dan ruang hidup.
Lahan ini sejak lama diklaim sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Bumi Sentosa Abadi (BSA).
Tindakan kolektif pada 9 November 2025 ini disebut sebagai puncak dari proses panjang, rasa frustrasi, dan kebutuhan mendesak untuk mempertahankan keberlangsungan hidup keluarga mereka.
Dalam proses kembali menggarap lahan, akun TikTok @abdisanjaya7 mengunggah pertemuan warga dari tiga kampung dengan aparat keamanan dari TNI/Polri dan Satpol PP, yang berlangsung damai secara dialogis.
Penegasan Hak di Tengah Ketidakpastian
Keputusan masyarakat untuk kembali menggarap lahan bukan sekadar tindakan bertani biasa, melainkan upaya untuk menegaskan hak, menolak hidup dalam ketidakpastian, dan memperjuangkan ruang hidup yang telah mereka tempati lintas generasi.
Aksi ini juga merupakan bentuk pernyataan bahwa masyarakat tidak dapat terus menunggu penyelesaian konflik agraria yang berlarut-larut.
Baca Juga: Mencari Keadilan di Ruang Parlemen: Suara Warga Anak Tuha Didengar Komisi I DPRD
Menurut perwakilan warga, Salman, hak atas tanah masyarakat adat tiga kampung ini kurang lebih sudah setengah abad dikuasai PT BSA.
“Jadi, mulai sekarang, kami masyarakat tiga kampung memperjuangkan hak wilayah masyarakat tiga kampung,” kata dia kepada aparat keamanan TNI/Polri dan Satpol PP dalam sebuah dialog yang berlangsung damai.
Ia menegaskan bahwa masyarakat tiga kampung belum pernah merasakan menggarap tanah nenek moyang mereka, sehingga mereka memutuskan untuk memperjuangkan hak wilayah tersebut mulai sekarang, karena di sanalah ruang lingkup hidup mereka.
Mereka juga telah menyampaikan permohonan agar aparat keamanan betul-betul bersikap netral atau “berdiri di tengah”.
“Harapan kami, seperti yang telah disampaikan berulang-ulang kali oleh masyarakat, kami memohon kepada Bapak betul-betul (berdiri) di tengah, jangan sekadar omongan Pak,” tegas Salman.
“Seperti yang sudah disampaikan masyarakat tiga kampung kemarin, sementara ini, mengukur semua lahan yang digarap oleh PT BSA agar tahu seluruh luasnya,” tambah dia.
Mereka membutuhkan lahan untuk menanam, memanen, dan bertahan di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit dan ketimpangan penguasaan tanah yang terus terasa.
Dengan mulai menggarap lahan, masyarakat menunjukkan bahwa penyelesaian konflik agraria adalah persoalan keberlangsungan hidup yang nyata dan mendesak, bukan hanya persoalan administratif.

Latar Belakang Konflik dan Mediasi yang Gagal
Konflik agraria yang melibatkan masyarakat di tiga kampung ini dengan PT BSA kian meruncing sebelumnya.
Upaya mediasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah pada Rabu, 20 Agustus 2025, tidak dihadiri oleh pihak perusahaan.
Mediasi tersebut menghasilkan tiga keputusan penting:
- Pemerintah daerah akan membentuk Satuan Tugas Gugus Tugas Reforma Agraria (Satgas GTRF) yang melibatkan masyarakat, akademisi, masyarakat sipil, dan korban konflik, untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
- DPRD Lampung Tengah akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melahirkan rekomendasi penyelesaian konflik.
- Masyarakat dan PT BSA dilarang beraktivitas di lahan konflik, di mana PT BSA diberikan waktu hingga 31 Oktober 2025 untuk melakukan panen terakhir.
Aksi masyarakat yang dimulai pada 9 November 2025 terjadi setelah batas waktu panen terakhir yang ditetapkan bagi PT BSA berakhir.
Baca Juga: Anak Tuha: Ujian Negara di Simpul Konflik Agraria Lampung
Reaksi dan Imbauan Aparat Keamanan
Dalam pertemuan dialogis, pihak kepolisian yang bertugas di lokasi menyampaikan bahwa mereka melaksanakan perintah dan memiliki aturan yang harus dijalani.
Aparat meminta masyarakat untuk berjuang dengan cara yang cerdas, harus kondusif, dan menjaga keamanan serta ketertiban.
Mereka juga berpesan agar warga tidak sampai terprovokasi atau melakukan tindakan-tindakan yang anarkis, karena hal tersebut dapat menggagalkan tujuan perjuangan masyarakat.
“Kami mohon jangan sampai ada yang terprovokasi. Jangan sampai, kami mohon, ada yang terprovokasi dengan tindakan-tindakan yang anarkis malah tujuan kita tidak tercapai,” ujar seorang petugas Polisi.
Aparat keamanan menekankan pentingnya keselamatan, mengingatkan warga bahwa anak dan istri menunggu di rumah, serta pentingnya dapur tetap mengepul dan anak tetap bisa bersekolah.
Mereka berharap, terlepas dari proses yang sedang berjalan, melalui perwakilan masyarakat yang masih memperjuangkan hak di PT BSA, akan didapatkan hasil terbaik dan paling adil untuk masyarakat dan perusahaan, serta mengharapkan proses damai.
Masyarakat diminta untuk menenangkan hati, berdamai, dan mempercayakan pada pihak yang dituakan.
“Kalau begini terus, nggak aman, nggak tenang, bagaimana mau mendapatkan rezeki. Kita perlu anak sekolah, perlu dapur tetap ‘ngepul,” kata dia.
Baca Juga: Kriminalisasi Petani Anak Tuha: Negara Pro-Korporasi

