DASWATI.ID – Pilkada Lampung Timur terancam polarisasi ekstrem dengan terlibatnya aparatur desa dalam upaya pemenangan salah satu pasangan calon.
Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung Drs Sigit Krisbintoro mengatakan netralitas aparatur desa adalah kunci untuk menjaga stabilitas dan keharmonisan di desa.
“Saya khawatir ketidaknetralan aparatur desa akan memicu polarisasi ekstrem di tengah-tengah masyarakat Lampung Timur. Dampaknya bisa berkepanjangan, tidak hanya saat pemilihan,” ujar Sigit di Bandarlampung, Rabu (6/11/2024).
Diketahui, Bawaslu Lampung Timur menerima laporan dugaan ketidaknetralan kepala desa di Kecamatan Raman Utara dari Aliansi Pemantau Kinerja Aparatur Negara (APKAN) dan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK) pada Selasa (5/11/2024).
Beranjak dari pelaporan itu, Sigit memandang Pilkada Lampung Timur terancam polarisasi ekstrem.
“Ini bisa membahayakan keutuhan masyarakat Lampung Timur karena berpotensi terjadi konflik sosial. Jika ini terjadi, dapat membahayakan demokrasi lokal,” kata Sigit.
Baca Juga: Pilkada Diharapkan Perkuat Kohesi Sosial Masyarakat Lampung
Dia menjelaskan kepala desa sebagai tokoh panutan dan rujukan warga sangat memengaruhi pandangan dan pilihan politik masyarakat setempat.
“Kalau sudah begini, artinya sistemik, terindikasi ada pelanggaran terstruktur, sistematis, masif (TSM),” ujar dia.
Polarisasi yang tajam, lanjut Sigit, bisa memecah belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan sehingga memicu kerusuhan dan konflik fisik.
“Ini tanggung jawab Bawaslu bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Timur dan APDESI Lampung Timur untuk memastikan netralitas aparatur desa,” tegas dia.
Sigit meminta Bawaslu untuk turun langsung melakukan pengawasan partisipatif agar Pilkada Lampung Timur berlangsung Jujur dan Adil (Jurdil) serta Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber).
“Keikutsertaan aparatur desa dalam pemenangan salah satu pasangan calon mencemari demokrasi lokal. Saya berharap aparatur desa tidak terlibat dalam kegiatan politik yang dilarang oleh undang-undang,” kata dia.
Netralitas aparatur desa dan larangan berpolitik praktis.
Aparatur desa dilarang untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis baik dalam Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) karena dikhawatirkan akan adanya konflik interest antara perangkat desa dengan masyarakat.
“Kepala desa dan perangkat pemerintahan desa dilarang ikut serta dalam pilkada, baik sebagai pengurus partai politik maupun tim pasangan calon,” ujar Sigit.
Selain mencemari proses demokrasi di aras lokal, aparatur desa yang tidak netral juga mengganggu pelayanan kepada masyarakat.
“Ada sanksinya kalau mereka terlibat dalam politik praktis, bisa dikenakan sanksi Administrasi, sanksi pemberhentian, dan sanksi pidana pemilihan,” kata Sigit.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dalam Pasal 280, Pasal 282, dan Pasal 494 melarang kepala desa dan perangkat desa melakukan politik praktis.
Larangan aparatur desa ikut berpolitik praktis juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dalam Pasal 29 huruf (g) disebutkan Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) kepala desa dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye Pemilu dan/atau Pilkada.
Kemudian, Pasal 51 huruf (g) menyebutkan Perangkat Desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) juga disebutkan perangkat desa dilarang ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye Pemilu dan Pilkada.
Menurut Sigit, Pemkab Lampung Timur dan APDESI Lampung Timur punya tanggung jawab sosial untuk memastikan demokrasi di aras lokal berlangsung kondusif.
“Jangan sampai masyarakat Lampung Timur terpecah belah gegara pilkada dan menjadi apatis,” pungkas dia.
Baca Juga: Calon Wakil Wali Kota Metro Qomaru Zaman Divonis Denda Rp6 Juta