DASWATI.ID – Kisah pilu menyelimuti keluarga Pratama Wijaya Kusuma, seorang mahasiswa Bisnis Digital angkatan 2024 Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung, yang meninggal dunia pada 28 April 2025 setelah menjalani perawatan.
Kematian Pratama Wijaya Kusuma diduga kuat terkait dengan kekerasan yang dialaminya saat mengikuti pendidikan dasar (diksar) organisasi Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahepel) Unila. Diksar tersebut berlangsung di Desa Talang Mulya, Pesawaran, pada 10-14 November 2024.
Malam Kepulangan yang Berujung Tragedi
Wirna Wani, ibunda almarhum Pratama Wijaya Kusuma, mengenang malam putranya kembali dari diksar.
“Dia minta dijemput udah malam. Terus saya jemput kira-kira jam 10-an. Dia kelaparan. Dia minta cari mie ayam, kita cari, udah dapat kita pulang,” tutur Wirna Wani dengan isak tangis didampingi tiga orang kuasa hukumnya dari LBH Sungkai Bunga Mayang di Mapolda Lampung, Selasa (3/6/2025).
Baca Juga: Polda Lampung Dalami Kasus Kematian Pratama Wijaya Kusuma
Namun, sesampainya di rumah, Pratama bahkan belum sempat menyentuh mie ayamnya. Begitu duduk, ia langsung pingsan.
Melihat kondisi anaknya yang tak sadarkan diri, Wirna menjerit dan menangis. Ia segera memeriksa Pratama dan menemukan banyak luka di tangannya, yang sempat ia abadikan dengan foto.
Pratama baru siuman sekitar pukul 8 pagi keesokan harinya, setelah sebelumnya mengerang kesakitan pada pukul 03.00 dini hari.
Ancaman di Balik Luka dan Ketakutan Pratama
Ketika Wirna Wani mencoba mengajak anaknya berobat ke rumah sakit, Pratama menolak dengan alasan yang membuat hati sang ibu teriris.
“Sempat saya ajak berobat. Kita berobat di Puskesmas RBI (Rajabasa Indah). Di RBI ditangani. Saya ajak ke rumah sakit dia nggak mau. Konon katanya nyawanya diancam,” kata dia.
Pratama mengungkapkan adanya ancaman terhadap nyawanya, dengan mengatakan “Nanti ketahuan Mama. Kita pulang aja. Mama diam. Mama jangan ngomong-ngomong. Kalau Mama sayang udo (panggilan orang Lampung) ini Mama jangan cerita-cerita. Nyawa aku ini diancam. Rumah kita jauh. Nanti aku diincar mau dibunuh.”
Wirna Wani mengakui bahwa ia tidak pernah tahu siapa yang mengancam putranya karena Pratama tidak pernah bercerita lebih lanjut.
Perjalanan Medis yang Penuh Perjuangan
Wirna menuturkan, pada bulan Maret, saat bulan puasa, kondisi Pratama memburuk hingga ia harus dilarikan ke UGD RS Bintang Amin.
Saat itu, ia sudah muntah-muntah, tangan kirinya kram, dan berjalan terpincang-pincang.
Setelah dirawat dan ditangani oleh Dokter Toni, Pratama diberikan surat rujukan ke bagian syaraf.
“Dokter Toni nginap di hari Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, Senin. Senin pulang dikasihnya surat rujukan ke syaraf. Habis dari syaraf, katanya Rabu ini ada dokter Melan, dokter syarafnya,” ujar Wirna.
Saat diperiksa oleh Dokter Melan, seorang dokter syaraf, sang dokter terkejut melihat kondisi Pratama.
“Ibu kenapa dibiarin anak kamu ini sudah kena syaraf Bu,” kata Dokter Melan, yang dijawab Wirna bahwa ia tidak tahu karena anaknya terus memberi isyarat untuk tidak bicara.
Pratama sempat menceritakan kepada ibunya bahwa ia ditendang di dada dan perut, serta diinjak-injak. Bahkan, kukunya sempat copot.
Wirna Wani menegaskan bahwa Pratama sejak kecil tidak pernah menderita penyakit aneh-aneh selain batuk pilek, dan tidak ada riwayat tumor otak.
Dari pemeriksaan scanning, terungkap bahwa Pratama memiliki gumpalan darah dan cairan yang tidak lancar di tubuhnya, yang menjadi penyebab kram yang dialaminya.
Dengan kondisi yang mendesak, Pratama langsung dirujuk ke RSUD Abdul Moeloek karena di sana terdapat dokter bedah yang dibutuhkan.
Operasi dan Ketiadaan Kunjungan Kampus
Pratama akhirnya menjalani operasi pada 27 April 2025 pukul setengah dua dini hari. Tragisnya, nyawanya tak tertolong, dan ia menghembuskan napas terakhir sehari setelah operasi pada 28 April 2025.
Selama Pratama dirawat di rumah sakit, Wirna Wani mengungkapkan bahwa pihak kampus tidak pernah datang berkunjung ke rumah.
Kunjungan baru datang setelah almarhum meninggal dunia, di mana beberapa orang dari kampus, termasuk Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FEB Unila, Dr Neli Aida.
“Pihak kampus tidak pernah datang kunjungan ke rumah. Waktu almarhum sudah meninggal ada beberapa orang datang, termasuk ibu Neli dan empat orang,” ujar Wirna.
Duka Ibu dan Seruan Keadilan
Dalam puncak kesedihan dan keputusasaan, Wirna Wani sempat mengunggah curahan hatinya di Facebook.
Ia menulis: “Anak saya sakit tolong ya kalau ada saudara mau masuk Unila jangan salah pilih ekskul mapala (Mahepel) di Unila. Cukup saya yang sakit sampai anakku meninggal.”
Postingan tersebut kemudian diminta untuk dihapus, dan Wirna memenuhi permintaan itu.
Saat itu, di tengah duka yang amat dalam, Wirna Wani hanya bisa mengungkapkan perasaannya kepada Ibu Neli, “Kalau sekarang Bu, saya habis duka cita anakku ini. Nyawaku rasanya lemas.”
Kini, dengan hati yang hancur namun penuh keteguhan, Wirna Wani meminta kepolisian untuk mengusut tuntas kematian anaknya.
Ia berharap agar para pelaku dihukum seberat-beratnya, sebagai bentuk keadilan bagi Pratama.
“Saya meminta kepolisian untuk mengusut kematian anakku secara tuntas. Hukum seberat-beratnya, itu mau saya,” pungkas Wirna.
Baca Juga: Aliansi Mahasiswa Unila Menuntut Keadilan untuk Pratama