DASWATI.ID – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia atau FJPI Lampung mengedukasi netizen soal bahaya hoaks yang marak beredar di dunia maya menjelang hari pemungutan suara Pilkada 27 November 2024.
“Masyarakat harus cerdas memilah informasi apakah benar atau hoaks,” ujar Ketua FJPI Lampung Vina Oktavia dalam acara Sosialisasi Peningkatan Partisipasi Masyarakat Warganet (Netizen) di D’Jaya House Bandarlampung, Selasa (12/11/2024).
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama FJPI Lampung dan KPU Kota Bandarlampung.
Hadir sebagai narasumber komisioner KPU Kota Bandarlampung Hamami, dan anggota Bawaslu Kota Bandarlampung Hasanuddin Alam, dengan peserta dari penggiat media sosial, Cipayung Plus, dan jurnalis.
Dalam pemaparannya, Vina Oktavia mengajak peserta kegiatan untuk bijak memilah informasi di ruang digital.
Jurnalis Kompas.id ini menjelaskan terdapat beberapa jenis informasi keliru yang dapat mengakibatkan krisis kepercayaan seperti misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.
Vina mengatakan misinformasi berupa berita palsu yang disebarkan seseorang karena tidak sengaja.
Lalu, disinformasi yaitu informasi keliru yang sengaja disebarkan untuk menyesatkan orang banyak.
“Sementara malinformasi berupa informasi yang benar, tetapi disebarkan untuk merugikan orang lain atau menimbulkan kebingungan,” ujar Vina.
Penyebaran hoaks di media sosial meningkat signifikan di tahun politik.
Vina menuturkan hasil Riset Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) pada Semester I Tahun 2024 yang menyebutkan penyebaran hoaks meningkat signifikan di tahun politik.
Riset Litbang Mafindo menunjukkan jumlah temuan hoaks sepanjang bulan Januari-Juni 2024 mencapai 2.119.
“Dari jumlah itu, sebesar 31,6 persen merupakan hoaks terkait pemilu,” kata Vina.
Baca Juga: Pengawasan Ruang Digital di Pilkada Serentak Lampung 2024
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung ini memandang tema politik yang konsisten mendominasi setiap bulan, menunjukkan bahwa hoaks sangat erat kaitannya dengan agenda politik.
Saluran penyebaran hoaks selama Semester I-2024 adalah Facebook (30,4%), YouTube (21,8%), Tik Tok (16,9%), Twitter (15,2%), WhatsApp (7,4%).
“Facebook masih menjadi saluran favorit penyebaran hoaks, terutama di kalangan pengguna yang lebih luas dan beragam,” ujar Vina.
Kemudian, informasi hoaks di platform YouTube dan TikTok menunjukkan bahwa konten video semakin dominan dalam penyebaran hoaks dengan memanfaatkan format yang lebih menarik dan mudah diakses oleh berbagai kalangan.
Sementara, angka temuan di WhatsApp (7,4%) dan saluran terenkripsi lainnya tidak mewakili secara komprehensif dalam data ini.
Vina menilai melacak berita hoaks di platform media sosial yang terenkripsi seperti WhatsApp sangat sulit.
Diketahui, fitur enkripsi end-to-end membuat pesan yang dikirimkan hanya bisa dibaca oleh pengirim dan penerima. Bahkan WhatsApp sendiri tidak dapat membaca isi pesan tersebut.
“Hal ini menandakan tantangan besar dalam mendeteksi dan memitigasi hoaks yang disebarkan melalui platform yang lebih privat,” jelas dia.
Identifikasi hoaks.
Penyebaran hoaks yang sangat cepat menyebabkan dampak negatif dan kehebohan di masyarakat.
Vina menyampaikan hasil Survei Wabah Hoaks Nasional 2019 yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).
Riset Mastel menyebutkan penyebaran hoaks berkaitan erat dengan tingkat literasi masyarakat, budaya berbagi informasi, dan ingin menjadi yang pertama meneruskan berita heboh.
Berita heboh, jelas Vina, menjadi salah satu daripada ciri-ciri hoaks.
Alumni Universitas Lampung ini pun mengajak netizen untuk mengenali ciri-ciri hoaks agar cerdas dan bijak dalam menyikapi informasi yang diterima, di antaranya:
- Penggunaan judul dan narasi yang provokatif/heboh;
- Penyajian tanggal dan waktu yang tidak jelas;
- Menyudutkan atau menjelek-jelekkan salah satu pihak;
- Penggunaan foto atau video yang tidak akurat.
“Kita bisa mengidentifikasi berita hoaks dengan berpikir kritis, serta perhatikan gaya penulisan dan cek sumber informasi,” kata Vina.
Untuk mengecek keaslian foto dan video dapat menggunakan tools yang tersedia gratis di cekfakta.com dan turnbackhoaks.id.
Perempuan paling rentan terpapar misinformasi politik.
“Perempuan seringkali menjadi target utama penyebaran misinformasi politik dengan menempatkan isu perempuan dalam konten informasi keliru,” kata Vina.
Perempuan dijadikan target dalam proses penyebaran hoaks dengan narasi yang merendahkan martabat perempuan, serta penggiringan isu yang berbau seksualitas, agama, dan politik yang dikaitkan dengan persoalan moralitas.
Baca Juga: Perempuan Lebih Aktif di Bilik Suara Pemilu 2024
Vina menuturkan ada beberapa faktor yang membuat perempuan lebih rentan terhadap misinformasi politik, yakni:
- Aspek kultural, yakni budaya patriarki dan beban ganda;
- Aspek sosial, berupa adanya perspektif masyarakat yang menganggap pemilu dan pemimpin selalu berkaitan dengan urusan laki-laki;
- Aspek pendidikan, yakni masih minimnya pendidikan politik bagi perempuan;
- Aspek politik, di antaranya kebijakan diskriminatif.
Oleh karena itu, Vina mengajak netizen menjadi bagian dari solusi dengan menyebarkan kesadaran tentang bahaya hoaks dan cara mengatasinya.
“Menyaring informasi adalah kunci untuk menangkal informasi keliru. Verifikasi dan pengecekan ke berbagai sumber referensi, penting untuk memastikan kebenaran informasi sebelum menyebarkannya,” pungkas Vina.
Baca Juga: Keunggulan Perempuan dalam Politik