DASWATI.ID – Gas elpiji 3 kg telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah dan usaha mikro.
Program subsidi gas elpiji ini dimulai sejak 2007 sebagai bagian dari konversi dari minyak tanah ke gas, dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) dan menyediakan energi yang lebih bersih.
Namun, seiring waktu, tantangan dalam distribusi dan penyaluran gas elpiji bersubsidi terus bermunculan, mulai dari distribusi yang tidak efektif hingga penyalahgunaan subsidi.
Kenaikan Harga dan Beban Operasional
Harga resmi gas elpiji 3 kg yang ditetapkan pemerintah adalah Rp12.750 per tabung, berkat subsidi sebesar Rp30.000 per tabung.
Tanpa subsidi, harga asli bisa mencapai Rp42.750 per tabung. Namun, kenyataannya, harga eceran di beberapa daerah seperti Lampung telah naik menjadi Rp20.000 per tabung.
Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan biaya operasional distribusi, seperti transportasi dan investasi infrastruktur, terutama untuk wilayah terpencil.
Kenaikan harga ini memunculkan dilema. Di satu sisi, biaya operasional harus ditanggung agar distribusi tetap berjalan lancar.
Di sisi lain, daya beli masyarakat di berbagai daerah berbeda-beda, sehingga kenaikan harga dapat memberatkan kelompok masyarakat tertentu.
Rantai Distribusi Gas Elpiji 3 Kg
Rantai distribusi gas elpiji 3 kg di Indonesia melibatkan beberapa proses terstruktur untuk memastikan penyaluran yang efisien dan tepat sasaran.
Proses dimulai dari produksi dan penyimpanan, dimana gas elpiji diproduksi oleh Pertamina atau melalui impor, kemudian disalurkan ke Stasiun Pengangkutan dan Pengisian Bulk Elpiji (SPPBE) untuk dimasukkan ke dalam tabung 3 kg.

Setelah tabung terisi, distribusi dilakukan oleh agen resmi yang ditunjuk Pertamina, yang bertanggung jawab menyalurkan elpiji ke sub agen atau pangkalan.
Pangkalan ini adalah titik penjualan resmi yang harus terdaftar dan memenuhi syarat pemerintah. Mulai 1 Februari 2025, pembelian elpiji 3 kg hanya dapat dilakukan di pangkalan resmi dengan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk memastikan subsidi diterima oleh masyarakat yang berhak.
Setiap transaksi akan dicatat dalam sistem Pertamina untuk memantau kuota bulanan.
Seluruh proses ini berada di bawah regulasi dan pengawasan pemerintah, yang bertujuan mencegah penyalahgunaan subsidi dan memastikan harga tetap sesuai ketentuan.
Kebijakan terbaru melarang pengecer menjual elpiji 3 kg secara langsung, mendorong mereka untuk mendaftar sebagai pangkalan resmi agar dapat beroperasi secara legal.
Masalah Distribusi: Dari Penyalahgunaan hingga Pasar Gelap
Distribusi gas elpiji bersubsidi sering kali menjadi titik lemah dalam rantai penyaluran. Penyalahgunaan terjadi baik di tingkat agen maupun sub agen, dimana gas bersubsidi dijual kepada pihak yang tidak berhak, seperti industri atau pengecer ilegal.
Selain itu, kebijakan pembatasan penjualan hanya melalui pangkalan resmi menimbulkan antrean panjang dan kelangkaan di beberapa daerah, memicu munculnya pasar gelap dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Meski pemerintah telah melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg sejak Februari 2025 untuk memastikan subsidi tepat sasaran, implementasi kebijakan ini masih menemui kendala besar.
Kurangnya sosialisasi menyebabkan kebingungan di masyarakat, sementara lemahnya pengawasan membuka celah bagi pelanggaran.
Solusi untuk Distribusi Tepat Sasaran

Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis dan terintegrasi:
1. Penguatan Sistem Monitoring Berbasis Teknologi
Pemerintah perlu menerapkan aplikasi berbasis teknologi untuk memantau distribusi secara real-time. Setiap transaksi harus tercatat dalam database terpusat untuk meningkatkan transparansi. Publikasi data distribusi secara berkala juga dapat melibatkan masyarakat dalam pengawasan.
2. Pengawasan Ketat dan Sanksi Tegas
Audit rutin terhadap agen dan sub agen harus dilakukan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi. Pelanggar aturan perlu dikenai sanksi tegas, seperti pencabutan izin operasi atau denda berat.
3. Edukasi dan Pelibatan Masyarakat
Kampanye edukasi tentang hak masyarakat dalam memperoleh elpiji bersubsidi perlu digalakkan. Saluran pelaporan yang mudah diakses juga harus disediakan agar masyarakat dapat melaporkan penyalahgunaan subsidi atau penjualan ilegal.
4. Optimalisasi Peran BUMDes
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat diberdayakan sebagai pangkalan resmi untuk mengurangi ketergantungan pada agen swasta. Data desa yang akurat juga dapat digunakan untuk memastikan distribusi tepat sasaran.
5. Teknologi Verifikasi Identitas
Verifikasi biometrik seperti sidik jari atau pemindaian wajah dapat diterapkan saat pembelian elpiji 3 kg untuk memastikan hanya warga yang berhak yang dapat membeli.
6. Sosialisasi Kebijakan Harga
Pemerintah bersama Pertamina perlu menyosialisasikan Harga Eceran Tertinggi (HET) secara luas agar masyarakat memahami alasan kenaikan harga dan tidak terjadi kesalahpahaman.
7. Kolaborasi Semua Pihak
Distribusi gas elpiji bersubsidi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga membutuhkan kerja sama erat dengan pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat.
Pengawasan bersama Pertamina dan aparat penegak hukum harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan di lapangan.
Baca Juga: Tanpa Pengawasan Ketat, Larangan Pengecer Elpiji 3 Kg Bisa Sia-Sia
Diharapkan langkah-langkah strategis yang terintegrasi serta pengawasan ketat, distribusi gas elpiji bersubsidi dapat berjalan lebih efektif dan tepat sasaran.
Pada akhirnya, program ini juga diharapkan mampu terus memberikan manfaat bagi masyarakat pra-sejahtera tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan.
Oleh: Drs. R Sigit Krisbintoro (Akademisi Universitas Lampung)