Pemimpin Muda Lampung: Bonus Demografi dan Pembangunan Manusia

oleh
Pemimpin Muda Lampung: Bonus Demografi dan Pembangunan Manusia
Empat figur pemimpin muda di Provinsi Lampung. Ilustrasi: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Kehadiran empat figur pemimpin muda di Provinsi Lampung, yaitu Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal (45), Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela (31), Ketua DPRD Provinsi Lampung Ahmad Giri Akbar (37), dan Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Marindo Kurniawan (44), menempatkan mereka di hadapan serangkaian tantangan signifikan.

Menurut akademisi Universitas Lampung, Bendi Juantara, tantangan-tantangan ini mencakup aspek partisipasi pemuda hingga kesiapan daerah dalam menghadapi bonus demografi.

Bendi Juantara menjelaskan bahwa terpilihnya para pemimpin muda ini merupakan hasil dari perjuangan panjang generasi muda dalam keterlibatan mereka di bidang politik dan pemerintahan.

“Mengingat jumlah pemuda di Lampung yang sangat besar, tantangan utama bagi para pemimpin ini adalah memastikan bahwa pemuda tidak hanya menjadi objek pembangunan semata, melainkan juga memiliki peran strategis dalam menentukan kebijakan daerah ke depan,” ujar dia saat dihubungi dari Bandar Lampung, Sabtu (21/6/2025) malam. 

Hal itu menuntut keempat sosok muda tersebut untuk menghadirkan perspektif segar dan gagasan inovatif dalam setiap kebijakan yang diambil.

“Ini menjadi krusial agar kepemimpinan muda dapat benar-benar membawa perubahan dan tidak terjebak pada pendekatan lama,” kata Bendi.

Mereka diharapkan membuka ruang bagi pendekatan-pendekatan baru dalam menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat Lampung.

“Kompleksitas masalah yang ada memerlukan solusi kreatif dan efektif dari para pemimpin muda,” tambah Bendi.

Pemimpin muda juga diharapkan memberikan dampak positif bagi kemajuan daerah secara menyeluruh, yang menjadi tujuan utama dari partisipasi mereka dalam kepemimpinan.

“Selain itu, Provinsi Lampung akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2030, dengan perkiraan jumlah penduduk usia produktif mencapai 6,7 juta jiwa,” ujar dia.

Ini merupakan tantangan sekaligus peluang besar yang menuntut para pemimpin muda untuk:

1. Mendorong kesiapan sumber daya manusia (SDM) Lampung agar menjadi unggul dan produktif.

“Kebijakan yang strategis diperlukan untuk memastikan bahwa bonus demografi ini dapat dioptimalkan, bukan justru menjadi beban,” tambah Bendi. 

2. Mengoptimalkan potensi sumber daya alam (SDA) yang ada di Provinsi Lampung. Pemanfaatan SDA secara bijak dan berkelanjutan sangat penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi daerah.

3. Meningkatkan investasi strategis di Provinsi Lampung. Menarik investor dan menciptakan iklim investasi yang kondusif adalah kunci untuk menciptakan lapangan kerja dan mendorong pembangunan.

4. Menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru yang mampu menyerap tenaga kerja produktif.

“Hal ini esensial untuk menjaga tingkat penyerapan tenaga kerja di tengah lonjakan usia produktif dan berkontribusi signifikan pada pembangunan serta kesejahteraan masyarakat Lampung,” jelas Bendi.

Dengan demikian, keberadaan pemimpin muda di Lampung membawa harapan besar namun juga meletakkan tanggung jawab besar di pundak mereka.

“Kemampuan mereka dalam mengatasi tantangan-tantangan ini akan sangat menentukan arah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Lampung di masa depan,” pungkas Bendi.

Harapan & Tantangan Pemimpin Muda

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung merilis dokumen “Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Lampung 2024” pada 16 Juni 2025.

Dokumen ini memberikan gambaran mendalam tentang pencapaian, posisi, dan disparitas pembangunan manusia di Provinsi Lampung.

1. Pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) Provinsi Lampung terus meningkat, namun masih di bawah rata-rata nasional.

IPM Provinsi Lampung pada tahun 2024 mencapai angka 73,13 meningkat 0,65 poin (0,90%) dari tahun sebelumnya, dan termasuk dalam kategori Tinggi (70 ≤ IPM < 80).

Namun, capaian ini masih berada di bawah rata-rata IPM provinsi se-Indonesia (73,50) dan IPM Indonesia (75,02) pada tahun yang sama.

Meskipun ada tren peningkatan positif, posisi Lampung yang masih di bawah rata-rata nasional menunjukkan bahwa masih ada ruang besar untuk perbaikan agar kualitas SDM Lampung dapat bersaing lebih baik di tingkat nasional.

Peningkatan yang berkelanjutan sangat krusial untuk mengejar ketertinggalan dan memaksimalkan potensi pembangunan.

2. Tantangan kualitas SDM secara Umum.

Indeks Modal Manusia (Human Capital Index/HCI) Indonesia pada tahun 2020 sebesar 0,54 poin, yang berarti anak-anak Indonesia yang lahir saat ini hanya dapat meraih 54% dari potensi produktivitas maksimalnya.

Skor ini lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Di Lampung, prevalensi stunting pada balita tahun 2024 mencapai 15,9% (naik 1% dari 2023) dan prevalensi gizi buruk-kurang sebesar 14,8%, keduanya melampaui ambang batas WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).

Kualitas dan ketimpangan akses pendidikan juga menjadi masalah, dimana akses pendidikan berkualitas masih terpusat di Pulau Jawa.

Kualitas SDM yang rendah, terutama yang disebabkan oleh stunting, memiliki dampak jangka panjang pada fungsi kognitif, durasi pendidikan formal yang lebih singkat, dan pendapatan yang lebih rendah saat dewasa, secara langsung membatasi potensi produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Ketimpangan akses pendidikan juga menghambat pemerataan kesempatan dan daya saing bangsa.

3. Disparitas pembangunan manusia antar-dimensi dan antar-wilayah/gender.

Disparitas Gender: IPM laki-laki (76,76) lebih tinggi dari IPM perempuan (70,29) pada tahun 2024, meskipun keduanya dalam kategori Tinggi.

Perbedaan utama terletak pada pengeluaran per kapita, dimana laki-laki (Rp15,97 juta) hampir dua kali lipat pengeluaran perempuan (Rp8,64 juta).

Disparitas Antarkabupaten/Kota: Ada kesenjangan mencolok, dengan Kota Bandar Lampung (80,46) dan Kota Metro (80,41) berstatus Sangat Tinggi, sementara Kabupaten Mesuji (68,59) masih berstatus Sedang.

Disparitas terlihat pada semua dimensi: Umur Harapan Hidup (UHH) tertinggi di Kota Metro (75,43 tahun) dan terendah di Mesuji (73,90 tahun) [18, 19]; Harapan Lama Sekolah (HLS) tertinggi di Kota Metro (14,78 tahun) dan terendah di Mesuji (11,82 tahun); Rata-rata Lama Sekolah (RLS) tertinggi di Kota Metro (11,01 tahun) dan terendah di Mesuji (7,21 tahun); serta pengeluaran per kapita tertinggi di Kota Bandar Lampung (Rp13,67 juta) dan terendah di Pesawaran (Rp9,19 juta).

Disparitas ini menunjukkan bahwa pembangunan belum merata, yang dapat menghambat pertumbuhan inklusif dan menciptakan ketidakadilan sosial.

Kesenjangan gender, terutama dalam dimensi ekonomi, mencerminkan pemanfaatan potensi perempuan yang belum optimal dalam perekonomian.

Sedangkan kesenjangan antarwilayah menandakan bahwa daerah-daerah tertinggal membutuhkan intervensi kebijakan yang lebih terfokus untuk meningkatkan kualitas SDM-nya dan mencegah pemborosan potensi manusia.

4. Tantangan utama per dimensi pembangunan manusia di Lampung.

Dimensi Kesehatan: Tingginya morbiditas (angka kesakitan 12,91%), masih tingginya pernikahan dini (12,39% perempuan menikah di bawah 16 tahun), terbatasnya akses ke fasilitas kesehatan (3,88% desa sulit menjangkau puskesmas, 51,66% desa di Tulang Bawang sulit menjangkau rumah sakit, rasio puskesmas (3 per 100.000 penduduk) yang belum memenuhi standar (5 per 100.000), distribusi dokter spesialis yang tidak merata (terkonsentrasi di Bandar Lampung), dan kondisi lingkungan yang kurang sehat (2,04% rumah tangga berlantai tanah/bambu, 44,64% rumah tangga belum akses air minum aman, serta tempat pembuangan tinja yang tidak layak).

Faktor-faktor ini secara langsung memengaruhi Umur Harapan Hidup (UHH) dan produktivitas masyarakat.

Pernikahan dini meningkatkan risiko kematian bayi dan berdampak negatif pada UHH. Akses yang sulit dan kurangnya fasilitas kesehatan berkualitas menghambat pelayanan kesehatan esensial. Lingkungan yang buruk berkontribusi pada penyebaran penyakit.

Dimensi Pendidikan: Rendahnya Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada jenjang SMA/sederajat (72,35%) menunjukkan hampir 27% anak usia 16-18 tahun tidak bersekolah atau putus sekolah.

Angka Partisipasi Murni (APM) juga menurun seiring jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, akses ke fasilitas SMP dan SMA masih sulit di beberapa wilayah (misalnya, 15,70% desa di Pesisir Barat jauh dari SMA).

Ini mengindikasikan bahwa program wajib belajar 9 tahun belum sepenuhnya efektif di tingkat yang lebih tinggi, dan akses ke pendidikan menengah masih menjadi kendala.

Keterbatasan ini membatasi peningkatan Rata-rata Lama Sekolah dan Harapan Lama Sekolah, yang pada gilirannya menghambat pembentukan SDM berkualitas dan berdaya saing.

Dimensi Ekonomi: Tingkat kemiskinan Lampung (10,62%) masih di atas nasional (8,57%) dan terkonsentrasi di pedesaan.

Dominasi sektor pertanian (26,21% PDRB) yang pertumbuhannya terkontraksi (2,09%) dan tidak efektif menekan kemiskinan/pengangguran.

Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung yang relatif rendah dibandingkan provinsi lain di Sumatra. Tingginya proporsi tenaga kerja di sektor informal (69,14%), terutama di pedesaan (76,49%), yang umumnya berpendidikan rendah dan memiliki produktivitas rendah. Pengangguran didominasi oleh lulusan SMA hingga sarjana (64,24%).

Inflasi yang belum stabil dan berdampak signifikan pada harga bahan makanan, terutama bagi penduduk miskin. Serta infrastruktur jalan yang belum optimal (21,92% jalan provinsi rusak/rusak berat).

Masalah-masalah ekonomi ini secara langsung memengaruhi pengeluaran per kapita yang disesuaikan, yang merupakan dimensi vital dalam IPM.

Kemiskinan, upah rendah, dan sektor informal yang dominan membatasi daya beli, akses terhadap kebutuhan dasar, dan kesempatan ekonomi yang layak. Infrastruktur yang buruk menghambat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

5. Peluang bonus demografi sebagai pedang bermata dua.

Provinsi Lampung telah memasuki masa bonus demografi sejak tahun 2014, dimana proporsi penduduk usia produktif lebih besar.

Bonus demografi adalah peluang emas untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, asalkan penduduk usia produktif dibekali dengan pendidikan dan keahlian yang memadai serta tersedia lapangan kerja yang cukup.

Tanpa persiapan yang matang, bonus demografi dapat berubah menjadi “bencana pengangguran” yang justru membebani pembangunan.

Secara keseluruhan, pembangunan manusia di Provinsi Lampung, meskipun menunjukkan kemajuan, masih menghadapi tantangan serius dalam mencapai pemerataan dan kualitas yang tinggi di ketiga dimensinya, serta perlu strategi komprehensif dan sinergis dari para pemimpin muda Lampung untuk mengoptimalkan potensi SDM dalam menghadapi tantangan global dan nasional.

Baca Juga: RPJMD Inklusif: Gender, Anak, dan Pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *