Oleh: Sumaindra Jarwadi–Direktur LBH Bandar Lampung
DASWATI.ID – Konflik agraria yang berkepanjangan antara masyarakat petani di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, dengan PT Bumi Sentosa Abadi (PT BSA) telah menyebabkan hilangnya ruang hidup ratusan warga.
Menanggapi situasi ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menjalin sinergi dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Provinsi Lampung untuk memberikan penyuluhan hukum.
Agenda yang dilaksanakan pada Kamis (31/7/2025) ini dihadiri sekitar 300 petani yang menjadi korban dari Kampung Negara Aji Tuha, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji.
Kehadiran para ibu dalam penyuluhan ini turut menegaskan bahwa perjuangan atas tanah adalah kepedulian bersama, di mana tanah bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan juga ruang untuk menjaga keluarga dan menjalani kehidupan sehari-hari.
Badai Agraria: Kronik Konflik dan Dampaknya
Masyarakat di tiga kampung tersebut memiliki ikatan historis yang kuat dengan lahan mereka.
Sejak tahun 1870, mereka telah menghuni dan mengelola wilayah secara turun-temurun, merupakan generasi kelima dari para leluhur yang membuka lahan dan bercocok tanam komoditas seperti lada, kopi, dan durian.
“Badai agraria” ini bermula pada tahun 1972 ketika PT Pagolam masuk dan berupaya menguasai lahan yang telah digarap masyarakat.
Proses pengambilalihan dilakukan melalui tekanan dan intimidasi, termasuk ancaman bahwa tanah akan diambil negara jika masyarakat menolak, sehingga mereka terpaksa menerima ganti rugi yang sangat minim, yakni hanya Rp1.000/ha. Lahan tersebut kemudian ditanami tebu dan dibangun pabrik gula.
Pada tahun 1975, lahan beralih ke PT Chandra Bumi Kota tanpa melibatkan masyarakat secara langsung, dengan janji sewa yang banyak belum terlunasi.
Masyarakat mulai menanami kembali lahan yang ditelantarkan perusahaan pada tahun 1989.
Konflik memuncak ketika pada tahun 1990, lahan kembali beralih kepada PT BSA, dan masyarakat mengira ini hanya lanjutan masa sewa.
Namun, pada tahun 2004 dan 2005, PT BSA mengantongi Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tanpa sepengetahuan masyarakat.
Ketegangan mencapai puncaknya pada tahun 2012 saat masyarakat menyadari masa sewa 25 tahun telah berakhir, mendorong mereka untuk melakukan pendudukan dan pengelolaan lahan secara kolektif.
Aksi ini dibalas dengan tindakan represif dari aparat gabungan pada tahun 2013, berupa penangkapan, kekerasan, dan kriminalisasi warga.
Upaya hukum masyarakat melalui gugatan di pengadilan pun ditolak karena cacat formil, dan beberapa warga mengalami intimidasi serta diproses pidana.
Tragedi berlanjut pada tahun 2023, ketika PT BSA melakukan penggusuran paksa terhadap 892 hektare lahan dengan pengawalan aparat keamanan, mengakibatkan banyak warga kehilangan sumber penghidupan dan terpaksa merantau karena tekanan dan ketakutan.
Sinergi LBH-Kemenkumham
LBH Bandar Lampung berpandangan bahwa kehadiran negara dalam bentuk pemberian penyuluhan hukum ini merupakan upaya minimal yang seharusnya dilakukan untuk menjamin hak dan kepastian hukum masyarakat yang berkonflik.
Robi Awaludin, Penyuluh Muda dari Kanwil Kemenkumham Lampung, menegaskan bahwa “Negara hadir dalam setiap persoalan hukum masyarakat” dan “Bantuan hukum adalah hak setiap warga negara, khususnya kelompok rentan”.
Ia juga menambahkan bahwa masyarakat perlu mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan pendampingan hukum yang “tidak bisa diintervensi oleh kriminalisasi”.
Sinergi ini bertujuan untuk memastikan hak atas tanah dapat dikembalikan kepada pemilik sebenarnya, sejalan dengan amanat Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk keuntungan korporat.
Perlindungan terhadap rakyat yang sedang mempertahankan ruang hidupnya dari pengambilalihan oleh perusahaan adalah bagian dari perjuangan lingkungan hidup.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66, yang menegaskan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Tantangan dan Perjuangan Berkelanjutan
Meskipun sinergi LBH dan Kemenkumham telah memberikan “pelita asa” melalui penyuluhan dan pendampingan hukum, perjuangan masyarakat belum berakhir.
Hingga tahun 2025, masyarakat telah mengajukan berbagai permohonan penyelesaian konflik kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah, termasuk permintaan pembentukan Pansus Agraria dan pencabutan HGU PT BSA.
Namun, pertemuan-pertemuan dengan pemerintah belum menghasilkan solusi konkret.
Konflik masih terus berlangsung, dan keadilan atas “tanah warisan leluhur” mereka masih belum sepenuhnya didapatkan.
Kesimpulan
Sinergi antara LBH Bandar Lampung dan Kanwil Kemenkumham Lampung menjadi “pelita asa” yang esensial di tengah “badai agraria” yang melanda petani Anak Tuha.
Kehadiran dua lembaga ini menegaskan komitmen negara dalam memastikan hak hukum dan konstitusional bagi rakyat, khususnya kelompok rentan, yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidup dan tanah warisan leluhur mereka dari dominasi korporat.
Meskipun jalan menuju keadilan masih panjang dan penuh tantangan, upaya kolektif ini merupakan langkah krusial dalam memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat dan menegakkan amanat konstitusi.
Baca Juga: Anak Tuha: Elegi Tanah di Bawah Bayang Negara yang Buta

