DASWATI.ID – Aliansi Aksi Kamisan Lampung akan menggelar aksi kritik publik pada Kamis, 26 Juni 2025, di Tugu Adipura Kota Bandar Lampung, untuk menyuarakan protes terhadap sejumlah isu nasional dan lokal krusial.
“Aksi ini terbuka untuk masyarakat umum dan akan menampilkan mimbar bebas, orasi politik, pertunjukan musik akustik, serta pembacaan puisi,” ujar Koordinator Aksi Kamisan Lampung Haykal Rasyid di Bandar Lampung, Selasa (24/6/2025).
Haykal menyatakan bahwa aliansi tersebut telah sepakat untuk menyikapi isu-isu nasional terkini, seperti rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, penyangkalan tragedi perkosaan massal 1998 oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam upaya penulisan ulang sejarah Indonesia.
Konsolidasi internal Aliansi Aksi Kamisan Lampung sebelumnya sempat direncanakan secara luring pada 23 Juni 2025 di Politeknik Negeri Lampung (Polinela), namun terkendala teknis sehingga dilakukan secara daring pada Selasa (26/6/2025) malam.
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Soeharto dan Dampaknya
Aliansi Aksi Kamisan Lampung menyoroti bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden RI tujuh periode 12 Maret 1967-21 Mei 1998, dapat dianggap sebagai bentuk legitimasi impunitas terhadap “dosa-dosa” rezim Orde Baru.
Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025 telah mengusulkan 10 nama untuk gelar tersebut, termasuk Soeharto.
Berdasarkan peraturan pemerintah, individu penerima gelar Pahlawan Nasional berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, dan ahli warisnya akan mendapatkan hak finansial dari APBN.
“Ini berarti pajak rakyat, termasuk dari korban dan keluarga korban rezim Orde Baru, akan digunakan untuk menyubsidi ahli waris terduga pelanggar hak asasi manusia (HAM),” tegas Haykal.
Penyangkalan Perkosaan Massal 1998 dan Penulisan Ulang Sejarah
Salah satu poin kritik utama adalah penyangkalan tragedi perkosaan massal 1998 oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Haykal menuturkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang merupakan dokumen resmi negara oleh Komnas Perempuan, perkosaan massal memang terjadi pada tahun 1998, dengan hampir 170 korban melaporkan insiden di Jakarta.
“Korban-korban ini melaporkan pemerkosaan, penganiayaan, bahkan ada yang dibakar hidup-hidup. Pelaku perkosaan mayoritas 2-5 orang secara bergiliran, dan korban ada yang diculik dari rumah atau di jalan,” kata Haykal.
Fakta-fakta ini, yang ditemukan TGPF, kini ingin disangkal. Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan penyangkalan peristiwa 1998 dianggap saling terkait dengan upaya penulisan ulang sejarah.
“Hal ini dipercaya akan memperkuat legitimasi bahwa rezim Orde Baru selama 32 tahun berjalan “baik-baik saja” tanpa sejarah kelam,” sesal dia.
Aliansi menyadari adanya banyak kepentingan dalam penulisan ulang sejarah yang berpotensi memutihkan “dosa” negara terkait tragedi masa lalu.
“Ada bagian sejarah Indonesia yang sebelumnya dianggap kontroversial atau bias dan kemudian dihapuskan dari sejarah resmi,” ungkap Haykal.
Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 berarti mengabaikan fakta sejarah penting, karena Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 sebagai respons atas tragedi tersebut.
Isu Lokal dalam Aksi Kamisan
Selain isu nasional, Aksi Kamisan Lampung juga akan menyinggung kasus-kasus kekerasan oleh aparat di Provinsi Lampung, bertepatan dengan Hari Anti-Penyiksaan Internasional pada 26 Juni 2025.
“Dalam lima tahun terakhir, banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian,” ujar Haykal.
Beberapa kasus kekerasan tersebut seperti represifitas dalam meredam aksi mahasiswa, kriminalisasi terhadap pergerakan rakyat yang dialami keluarga petani perempuan Mbak Tini dari Kotabaru, kriminalisasi mahasiswa yang mengkritisi kebijakan kampus.
“Termasuk kasus extrajudicial killing yang menimpa korban Romadon di Lampung Timur,” pungkas dia.
Baca Juga: Aksi Kamisan Lampung: Revisi UU TNI Ancam Demokrasi

